Thursday, May 6, 2010

Membedah Pemikiran Salaf

Ciri para ulama salaf dan ciri khas manhaj mereka secara ringkas :

1. I’timâd (berpegangnya) mereka dengan nushus (nash-nash) al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman yang shahih mengikut kefahaman salafussoleh, dan interaksi mereka terhadap nash-nash ini yang tercermin dalam kehidupan mereka, baik dalam amal dan ilmu, baik dalam perkataan dan perbuatan, secara zhahir dan bathin, sesuai batasan firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr : 7)

2. Niat yang lurus dan tujuan yang baik terhadap semua hal yang mereka lakukan dan yang mereka tinggalkan. Disertai dengan kesabaran, hikmah dan al-Mau’izhah al-Ĥasanah (pelajaran/nasehat yang baik) yang dianggap merupakan asas utama di dalam menegakkan dakwah Islam.


3. Iltizam (berpegang kuat) secara sempurna terhadap manhaj para Nabi dan Rasul yang mulia di dalam dakwah mereka yang diridhai, berperangai dengan akhlaq mereka yang suci, yang terpancar dari kaedah-kaedah syar’iyah.

4. Jalan dan manhaj yang jelas di dalam program dakwah dijalan Allah dan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak bersifat sirriyah (sembunyi-sembunyi) dan tidak pula mendirikan organisasi atau jama’ah-jama’ah rahsia sebagaimana yang dilakukan oleh kaum hizbiyun harokiyyun(parti dan gerakan) di setiap negeri kaum muslimin.

Namun as-Salaf, mereka menampakkan dakwah mereka secara terang-terangan di dalam dakwah ilallah(kepada Allah) dan ta’lim (mengajarkan) hamba-hamba Allah, mereka curahkan nasihat bagi ummat menurut keadaan dan kedudukannya, serta ber-amar ma’rūf nâhi munkar(menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkuran) dalam batasan kemampuan syar’iyah dan menetapi adab-adab Islamiyah.

5. Mencintai sikap berlapang-lapang (at-Tawassu’) di dalam ilmu syar’iyah dan wasa`il (sarana-sarananya), disebabkan Allah dan Rasul-Nya mencintai hal ini. Banyak ayat-ayat dan hadis yang memuji dan menyanjung sifat ini. Oleh kerana itu, tidak perlu kita menghiraukan tuduhan yang mengatakan bahwa salafîyun adalah penghafal matan dan catatan kaki [sebagaimana tuduhan DR. ’Abdullah ’Azzam –semoga Allah merahmati beliau dan mengampuni dosa kami dan beliau- di dalam Majalah al-Jihad, no. 53 dalam artikel berjudul ”Jâ`al Haq wa Zahaqol Bâthil”, th. 1989].

Kerana Allah sendiri yang memuji sebagaimana dalam firman-Nya :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah: 11)

Dan Firman-Nya :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fâthir : 28)

Juga di dalam sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam :

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
”Barangsiapa yang Allah mengehendaki kebaikan pada seseorang, niscaya ia fahamkan ia di dalam agama, dan sesungguhnya ilmu itu adalah dengan belajar.” [Muttafaq ’alayhi].

Dan sabda beliau :

إِنَّمَا العُلَمَاء ورَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
”Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban].

6. At-Tawadhu’ (rendah hati) di dalam belajar dan menyebarkan ilmu, beradab yang baik terhadap makhluk, terutama terhadap para ulama karena mereka pemilik ilmu yang keutamaannya tinggi dan kedudukannya mulia, maka wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk beradab terhadap makhluk.

Allah Ta’ala berfirman:

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS al-Furqân : 63)

Dan sabda Nabi Shallallahu ’alaihi  wa Sallam :

وَ مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّهِ إَلا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang itu bersikap rendah hati karana Allah melainkan Allah akan angkat kedudukannya.” [HR Muslim]

Sungguh indah apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

تواضع تكن كالبدر لاح لناظر على صفحات الماء وهو رفيع
ولا تك كالدخان يعلو بنفسه إلى طبقات الجو وهو وضيع

“Tawadhu’ (rendah hati) itu menjadikanmu laksana bulan bergemerlapan bagi orang yang memandangnya di atas permukaan air sedangkan bulan itu tinggi...
Janganlah kamu bagai asap yang terbang melayang meninggikan dirinya di lapisan udara padahal asap itu hina/rendah.”

Sebaliknya, perangai yang kaku keras lagi bengis, yang merasa tinggi hati lagi penyombong, maka sesungguhnya sifat-sifat ini akan menghinakan seorang penuntut ilmu. Maka bersegera dan berubah menuju kepada akhlaq yang mulia, dan jauhi da jauhilah akhlaq yang buruk lagi tercela!

Di dalam sebuah hikmah dikatakan :
العلم حرب للمتعالي كالسيل حرب للمكان العالي
“Ilmu itu memerangi sikap tinggi hati sebagaimana banjir itu memerangi tempat yang tinggi.”

7. Menaruh perhatian di dalam meramaikan majlis ilmu terutama di pusat utamanya, iaitu Masjid sebagai tempat termulia dan paling dicintai oleh Allah, dan di tempat-tempat lainnya seperti insitusi pengajian seperti sekolah-sekolah dan universiti atau dimana jua tempat yang memungkinkan untuk menyebarkan ilmu dengan cara yang benar.

8. Bersikap ar-Rifq (ramah), h'ilm (lembut) dan ‘anaat (tenang) kepada makhluk pada batasan syar’i. Kesemua sifat yang baik ini merupakan sifat yang harus dimiliki du’at yang berdakwah ke jalan Allah. Banyak sekali ayat-ayat yang terang dan tegas dan h­adis-hadis yang shahih yang mendorong untuk bersifat dengan sifat-sifat yang mulia ini.

Diantaranya adalah firman Allah :


خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS al-A’râf : 199)

Dan firman-Nya :


وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” 
(QS Fushshilat : 34-35)

Sabda Nabi SAW  kepada Asyaj ’Abdul Qays :



إِنَّ فِيْكَ خُصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ, الحِلْمُ وَالأَنَةُ
”Sesungguhnya engkau memiliki dua perangai yang dicintai Allah, yaitu kelemah-lembutan dan ketenangan.” [HR. Muslim]

Dan sabda beliau Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :

إِنّ اللهَ رَفِيْقُ يُحِبُّ الرِفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, dan mencintai kelemah-lembutan pada segala hal.” [HR Muslim].



Sunguh indah apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

أحب مكارم الأخلاق جهدي وأكره أن أعيب وأن أعاب
وأصفح عن سباب الناس حلما وشر الناس من يهوي السبابا
و من هاب الرجال تهيبوه ومن حقر الرجال فلن يهاب

“Aku menyukai akhlaq yang mulia maka ku tekuni dan kubenci mencela dan dicela orang lain.
Aku berpaling dari cercaan manusia dengan kelemah-lembutan dan seburuk-buruk manusia itu adalah orang yang gemar mencerca
Barangsiapa yang memuliakan orang lain maka ia akan dimuliakan, dan barangsiapa yang merendahkan orang lain ia takkan dihormati.”

Berangkat dari nash-nash dan hikmah inilah, para salaf menganggap sifat-sifat yang mulia ini –iaitu ar-Rifq, al-Ĥilm dan al-Anât- sebagai pemicu dakwah mereka dan mereka berakhlak dengannya. Oleh karena itulah Allah menentukan kejayaan bagi dakwah mereka di setiap tempat dan zaman.

ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
”Itulah kurniaan Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai kurniaan yang besar” (QS al-hadid : 21)

9. Pemahaman yang benar dan penerapan yang syar’i terhadap hukum al-Walâ` wal Bara` bagi Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, yang berangkat dari sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam :

أَوْثَق عُرَى الإِيْمَان الحُبٌّ فِي اللهِ والبُغْضُ فِي اللهِ
”Tali iman yang terkuat adalah mencinta karena Allah dan membenci kerana Allah” [HR A­hmad].

Di dalam lafazh lain dikatakan :

أَوْثَق عُرَى الإِيْمَان المُوَلاَة فِي اللهِ وَالمُعَادَة فِي اللهِ الحُبٌّ فِي اللهِ والبُغْضُ فِي اللهِ
”Tali iman yang terkuat adalah ketaatan pada Allah dan berlepas diri kerana Allah serta mencinta dan membenci kerana Allah” [HR as-Suyuthy dalam al-Jâmi’ ash-Shaghîr dan dihasankan oleh al-Albani].

Bertepatan dgn makna  kedua-dua hadis di atas, adalah ucapan Ibnu ’Abbas r.a, seorang sahabat yang bergelar Turjumanul Qur`ân (penterjemah al-Qur`ân) :
”Barangsiapa yang mencinta, membenci dan berwala’ kerana Allah, maka ia akan mendapatkan wilayah (kecintaan) dari Allah yang tidak akan diperoleh oleh seorang hamba(perasaan iman padanya), walaupun ia banyak melakukan solat dan puasa, melainkan ia melakukan kesemua hal ini(wala' dan bara' kerana Allah).” [Lihat Jamie’ al-’Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab al-Hanbali hal. 30].

No comments: